Campursari Blitarian. Blog ini dibangun untuk berbagi ilmu, berita sekaligus ajang sambung rasa mengenai dunia musik campursari. Blog ini kami persembahkan kepada para pecinta musik campursari di seluruh dunia, untuk yang tua dan yang muda. Mari kita angkat nilai dan pamor musik campursari di mata dunia.

Sabtu, 12 April 2014

Riwayat Musik Campursari

Istilah campursari di dunia musik nasional mengacu pada campuran beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Istilah campursari dikenal pada awal tahun 1970-an ketika RRI Stasiun Surabaya memperkenalkan acara baru, yaitu lagu-lagu yang diiringi musik paduan alat musik berskala nada pentatonis dan diatonis. Campursari adalah salah satu bentuk kesenian di Jawa yang merupakan perkawinan antara musik modern dengan musik etnik. Campursari itu sendiri sebenarnya berangkat dari seni tradisi Jawa, dimana dipadukannya seni gending dengan berbagai alat musik, baik alat musik tradisional maupun modern, konvensional dan elektrik.

Tapi sesungguhnya, paduan antara musik tradisional Indonesia dengan musik Barat bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum campursari ada banyak musisi kelas dunia yang sudah melakukannya, antara lain Claude Achille Debussy dari Perancis, Bella Bartok komponis Hungaria, Lalu Collin Mc Phee komponis Amerika, Wheeler Backet. Dari Indonesia ada F.A Warsono, Guruh Soekarno Putra bersama grup Guruh Gipsy memperkenalkan paduan musik Bali dan musik Barat.

Campursari berasal dari dua kata yaitu campur dan sari. Campur berarti berbaurnya instrumen musik baik yang tradisional maupun modern. Sari berarti eksperimen yang menghasilkan jenis irama lain dari yang lain. Para seniman memadukan dua unsur musik yang berbeda yaitu instrumen musik etnik yaitu gamelan dan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bass, drum serta keyboard, sehingga dapat dikatakan bahwa campursari adalah musik hybrida hasil perkawinan silang antara musik barat dan tradisional. Kesenian ini memerlukan beberapa pemain musik, tak kurang dari hampir sepuluh orang untuk menghasilkan irama yang sangat merdu.

Munculnya musik campursari pada awalnya berangkat dari musik keroncong asli langgam, campursari tetap menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik karawitan, ada yang cenderung ke keroncong. Campursari diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, lirik-lirik lagunya masih mengadopsi lirik gending Jawa tradisional walaupun tidak semua, karena sebagian besar dari senimannya berusaha menciptakan lagu campursari itu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang sedang berlangsung.

Campursari awalnya dipopulerkan oleh Ki Nartosabdho melalui setiap pertunjukkan wayang kulit yang dimainkannya. Ki Nartosabdho nama aslinya adalah Sunarto. Ia lahir di Wedi, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 25 Agustus 1925 dari keluarga kurang mampu. Ayahnya Partinojo seorang pembuat sarung keris. Sunarto kecil tidak dapat melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Beranjak remaja, Sunarto hijrah ke Jakarta untuk menopang ekonomi keluarganya dengan mencari uang melalui kemampuannya dalam bidang seni lukis. Ia juga turut memperkuat orkes keroncong “Sinar Purnama” sebagai pemain biola.

Pada tahun 1945, Sunarto berkenalan dengan Ki Sastrosabdho. Sunarto benar-benar ditempa kemampuannya dalam mengenali dan mendalami instrumen gendang. Lewat Ki Sastrosabdho pula, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Antara Ki Sastrosabdho dan Sunarto adalah ibarat satu kesatuan sebagai bapak dan anak, oleh karena itu kemudian Ki Sastrosabdho menganugerahi nama belakangnya kepada murid kesayangannya ini menjadi Nartosabdho. Ki Nartosabdho merupakan pembaharu dunia pedalangan tahun 80-an, menggabungkan musik modern dengan musik gamelan sehingga menghasilkan harmoni dengan nuansa tradisi Jawa, namun hal tersebut memunculkan kontroversi.

Sementara campursari zaman modern dipelopori oleh Anto Sugiyarto atau yang lebih dikenal dengan nama Manthous beserta saudara-saudaranya di awal tahun 1993 . Manthous dilahirkan di desa Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta Ketika berusia enam belas tahun ia hijrah ke Jakarta untuk ngamen, malang melintang di dunia musik, ikut bergabung dengan Kroncong Bintang Jakarta. Tahun 1993 Matnhous mendirikan grup musik campursari “Maju Lancar”. Manthous dengan kepekaan musikalitasnya mengadakan inovasi besar-besaran terhadap campursari lama. Ia mencoba menggabungkan alat-alat musik tradisional Jawa klasik, seperti kendang, gong dan gender, dipadu dengan alat musik keroncong seperti ukulele, cak dan cuk, seruling, bass betot, serta instrumen lainnya.

Manthous juga mencoba bereksperimen dengan memasukkan instrumen pengganti bass betot dan gitar klasik, yaitu dengan memasukkan bass dan gitar elektrik serta keyboard untuk menggantikan seruling dan ukulele. Kehadiran keyboard ini semakin menghidupkan musikalitas campursari. Selain itu Manthous juga memasukkan seperangkat drum untuk menambah kesempurnaan musik campursari. Musik campursari yang diciptakan, biasanya bernuansa segar dan penuh dengan keriangan.

Munculnya album Campursari Gunung Kidul (CSGK) mengawali kesuksesan Manthous. Berkat penemuan kreatifnya itu, Manthous mendapatkan penghargaan sebagai “Seniman Inovatif” pada tahun 1996 dari PWI Cabang Yogyakarta. Manthous juga menyabet beberapa penghargaan dalam ajang Panasonic Award maupun Ami Sharp Award. Penghargaan terkahir diperolehnya pada tahun 2001 untuk kategori Artis Tradisional Kontemporer terbaik serta Album Tradisional Kontemporer terlaris. Sejak tahun 2000-an muncullah bentuk campursari yang merupakan campursari gamelan dan keroncong, serta campuran keroncong dan dangdut dari Didi Kempot.

Kapasitas Manthous sebagai seorang seniman tidak diragukan lagi. Manthous telah malang melintang di belantika pemusikan Indonesia. Hasil lagu ciptannya juga sudah sangat banyak, misalnya lagu Kangen yang sempat hits lewat alunan vokal Evitamala, Gethuk yang dibawakan oleh Nur Afni Oktavia, atau lagu Mbah Dukun yang dinyanyikan oleh Nomo Koeswoyo. Kesuksesan Manthous tersebut juga mengorbitkan beberapa nama penyanyi atau pesinden yang telah ada, antara lain Anik Sunyahni, Minul, Lilis Diana, hingga Yati Pesek, lewat lagu Nyidam Sari, Tahu opo tempe, Rondho Kempling, loro bronto dan sebagainya yang masih merupakan lagu ciptaan Manthous.

Sayangnya, dikarenakan sedang mengalami sakit sampai dinyatakan terkena stroke, Manthous sekarang tidak bisa lagi menciptakan mahakarya seni yang pernah digagasnya sendiri ini. Walaupun demikian, alunan gending-gending campursari masih sering terdengar di setiap pojok tempat, baik di rumah makan, bus-bus antar kota atau propinsi, radio-radio lokal, dan di acara-acara hajatan.

Sumber: http://id-id.facebook.com/notes/campursari/riwayat-musik-campursari-tradisi-dan-inovasi/414809736638

Tidak ada komentar:

Posting Komentar