Campursari Blitarian. Blog ini dibangun untuk berbagi ilmu, berita sekaligus ajang sambung rasa mengenai dunia musik campursari. Blog ini kami persembahkan kepada para pecinta musik campursari di seluruh dunia, untuk yang tua dan yang muda. Mari kita angkat nilai dan pamor musik campursari di mata dunia.

Senin, 21 April 2014

Mengenang Ki Nartosabdo Sebagai Pencipta Lagu Jawa


Bagi Kompasianer , seperti Pakde Sakimun dan penulis yang telah berusia lebih dari 55 tahun yang menyukai musik tradisional Jawa pasti mengenal sosok seniman tradisional dan dalang wayang kulit, yakni Ki Nartosabdo yang amat terkenal pada tahun 60 hingga 80an. Kisah hidup Ki Nartosabdo tidak akan penulis kisahkan di sini. 
Salah satu alasan penulis amat tertarik dengan karya Ki Nartosabdo karena hampir seluruh lagu atau tembang ciptaannya senantiasa menggambar suasana kehidupan masyarakat Jawa pedesaan. Berbeda dengan para seniman lainnya, yang kebanyakan masih terpatri pada tembang-tembang macapat karya-karya budayawan keraton, seperti Amangkurat IV.
Tembang-tembang yang cukup monumental di antaranya Lesung Jumengglung, Kembang Glepang, Jago Kluruk, Caping, dan Aja Dipleroki. Tentunya masih ada tembang-tembang yang menarik menurut pembaca. Tembang Jago Kluruk dengan syairnya ( sebagian ) seperti ini :

Malung amalung tumalung jagone kluruk
Sedyane lir celuk-celuk wayahe iki wis sampun esuk……..
Yo ayo …. tangi nuli miwiti nyambut gawe anetepi kuwajibane

Artinya

Berkumandang suara ayam jago berkokok
Bagai mengingatkan sudah pagi hari………..
Marilah segera bangun dan mulai berkarya memenuhi kewajiban

menggambarkan bagaimana suasana pedesaan pada pagi hari dengan kokok ayam jantan dan kicauan burung yang membangun warga untuk segera melaksanakan tugasnya sebagai petani. Sedang tembang Lesung Jumengglung dengan sayirnya yang singkat namun penuh makna

Lesung jumengglung srumimbal-imbalan
Lesung jumengglung manengkar malungkung
Kumandang ngebaki sakjroning padesan
Tok … tok tek tok tok gung tok
Tok … tok tek tok tok gung…

menggambarkan suasana pedesaan saat para tani sedang di sawah di mana para ibu tetap berada di rumah untuk menumbuk padi bersama-sama sehingga suara lesung terpukul mengeluarkan irama yang khas. Keadaan seperti ini tentu saja amat ditemukan sekalipun di pedesaan terpencil. Berdasarkan pengamatan penulis suasana semacam ini, kini hanya ada di Kampung Naga dan Suku Badui.

Demikian juga pada syair tembang Caping menggambarkan kegiatan para tani sedang berkarya di sawahnya.

Caping caping caping capinge
Pancen nyoto si caping paedahe
Para tani makarya ing tengah sawah
Nggaru ngluku macul sarta tandur
Ngayun ayah kudhung caping
Dasar pancen abote tetanen
Wiwit nyebar wiji nganti panen
Mangsa rendheng lan ketiga
Arerukun kudhung caping
Caping caping caping caping…..

Setiap penyair, pencipta lagu, pengarang, dan seniman senantiasa dipengaruhi keadaan jaman saat mereka masih hidup. Maka pada masa kini amat sulit ditemukan seniman yang dapat menggambarkan suasana pedesaan seperti yang digambarkan oleh Beliau.

Sumber: http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/07/30/mengenang-ki-nartosabdo-sebagai-pencipta-lagu-jawa-581000.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar